Salah satu pertanyaan yang saya ajukan kepada Prof. Noor A. Siddique, Dekan School of Social and Policy Issues, Flinders University (Australia), sore tadi adalah: Adakah keharusan bagi mahasiswa S3 yang sedang studi di kampus-kampus Australia untuk menerbitkan artikel di jurnal internasional bereputasi sebagai syarat ujian disertasi?
Jika Anda tertarik mengetahui jawaban dari pertanyaan ini, silahkan lanjut membaca artikel pendek ini.
Sebelumnya, Prof. Noor A. Siddieq hadir di fakultas tempat saya bekerja, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB), dalam rangka penjajakan kerjasama antara kedua institusi. Selagi beliau di sini, Dekan kami berinisiatif untuk memberi ruang bagi para dosen untuk bertukar pikiran seputar pendidikan, penelitian, dan prospek studi di Australia dengan Prof. Noor.
Nah, jawaban Prof. Noor atas pertanyaan saya tadi adalah: Tidak ada.
Prof. Noor memang menganggap penelitian dan publikasi di jurnal internasional adalah sesuatu yang penting. Menurut beliau, penelitian dan publikasi internasional adalah bukti eksistensi seorang dosen (baca: Prof Noor A Siddique (Flinders University): Menulis Itu Harus Siap Dikritik dan Ditolak). Namun, pada jenjang S3, Prof. Noor menyatakan belum pernah ada kebijakan seperti itu di kampus-kampus Australia. Yang ada, dosen-dosen di sana memang mendorong mahasiswa untuk mempublikasikan karya ilmiahnya di jurnal internasional. Namun tidak mewajibkan.
Lalu apa tanggapan Prof. Noor tentang kebijakan publikasi di jurnal terindeks Scopus yang berlaku di Indonesia? Beliau menganggap itu adalah sesuatu yang sulit. Jika seorang mahasiswa baru mulai menulis artikelnya setelah rangkaian penelitian selesai, sangat besar kemungkinan masa studinya akan semakin panjang. Sebab, menurut pengalaman Prof. Noor, proses review di jurnal internasional bisa memakan waktu sedikitnya 2 bulan hingga 12 atau 24 bulan. Tentu jika mahasiswa hanya menunggu artikelnya terbit sebelum ujian, akan banyak waktu yang terbuang. Dan tentunya dana.
Oleh karenanya, Prof. Noor menyarankan, dengan kebijakan seperti itu, mau tak mau mahasiswa S3 harus mulai menulis artikel pada awal-awal semester. Bersamaan dengan mempersiapkan penelitian untuk disertasi, mahasiswa harus mulai menulis sesuatu. Dengan demikian, peran dosen pembimbing sangatlah vital. Pembimbing harus bisa memastikan kualitas artikel yang ditulis layak untuk terbit di jurnal internasional bereputasi (terindeks Scopus). Oleh karenanya, mahasiswa dan dosen pembimbing harus berkolaborasi dengan baik. Toh jika berhasil terbit, dosen pembimbing juga mendapatkan nama.
Adapun jika gagal (alias ditolak) oleh suatu jurnal, hendaknya jangan menyerah, saran Prof. Noor. Bahkan sekelas dirinya pun, masih pernah mengalami penolakan. Misalnya, saat ia hendak mempublikasikan artikel tentang pajak di negara-negara berkembang ke sebuah jurnal internasional bereputasi yang berbasis di Amerika Serikat, usahanya harus berakhir dengan penolakan. Apa sebab?
Bukan karena kualitas artikelnya, ujar Prof. Noor. Melainkan karena topik artikel tersebut dengan aim and scope serta segmen pembaca jurnal tersebut tidak bersesuaian. Walhasil, ditolaklah. Sehingga ia pun mengalihkan artikel tersebut ke jurnal lainnya.
Memang, sebagaimana pengalaman kami selama satu tahun belakangan ini, mendampingi ratusan mahasiswa dan dosen untuk menerbitkan artikel di jurnal internasional, itulah kasus yang banyak terjadi. Kami sudah berusaha mencarikan jurnal-jurnal yang memiliki kesesuaian topik dengan artikel penulis. Indikatornya: Adanya publikasi sebelumnya di jurnal tersebut yang topiknya serupa.
Namun, apa daya, Editor jurnal punya kuasa. Hak prerogatif. Untuk menerima atau menolak suatu artikel. Meskipun topik serupa pernah terbit di jurnalnya.
Jadi, kepada pembaca sekalian, selamat menulis dan berusaha. Kami, Insya Allah, siap membantu, menjadi jembatan antara karya Anda dan jurnal internasional impian.
Salam,
Aulia Luqman Aziz
www.TerjemahJurnal.com